Kamis, 10 Mei 2012

PAPER (PROBLEMATIKA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI INDONESIA


PROBLEMATIKA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Novieta Wahyu
(2011-33-174)

A.    Pendahuluan
Sejarah telah mengukir bahwa pada saat mulai terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajah, tingkat pendidikan bangsa kita pada umumnya masih sangat rendah. Bahkan telah terbukti bahwa tidak sedikit penduduk Indonesia yang masih buta huruf. Apakah kenyataan tersebut masih berlangsung sampai sekarang? Pemerintah telah bertekad dan dengan penuh perhatian untuk meletakkan sektor pendidikan pada posisi yang sangat penting dalam kerangka pembangunan nasional.
Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan perubahan dalam hidupnya. Salah satu diantara sekian banyak perubahan tersebut adalah pendidikan dan pembangunan. Sedangkan pendidikan di Indonesia setiap tahun mengalami perubahan yang tidak teratur dan tidak seimbang. Begitu pula dengan pembangunan, pada saat ini pembangunan di Indonesia mengalami ketidakseimbangan. Jumlah sumber daya alam di Indonesia sangat memadai akan tetapi sumber daya manusia yang berkualitas yang kurang memadai.
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam tulisan ini fokus tulisan adalah sebagai berikut :
1.      Apa sajakah masalah-masalah pendidikan di Indonesia?
2.      Bagaimana solusi/pemecahan masalah pendidikan di Indoneisa?
3.      Bagaimana pembangunan pendidikan sekarang ini?
Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1.      Mengetahui apa sajakah masalah-masalah pendidikan di Indonesia.
2.      Memahami solusi/pemecahan masalah pendidikan yang ada di Indonesia.
3.      Mengerti tentang pembangunan pendidikan sekarang ini mulai dari problematikanya, perencanaan solusinya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
B.     Masalah-Masalah Pendidikan Di Indonesia
Masalah-masalah pendidikan di Indonesia sangat banyak dan satu sama lain mempunyai hubungan yang kompleks. Masalah-masakah pendidikan yang pokok adalah sebagai berikut :
1.      Masalah banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah
Salah satu masalah besar dan sulit kita pecahkan adalah banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah.
2.      Masalah besarnya Drop-out
Drop out artinya meninggalkan sekolah sebelum menamatkan pelajaran. Drop-out pada tingkat sekolah dasar mencapai tingkat functional literacy akan berakibat anak menjadi buta huruf kembali. Drop-out merupakan salah satu pemborosan pendidikan, karena drop-out hanya pendidikan menjadi 3-4 kali lebih besar daripada seharusnya. Drop-out pada tingkat sekolah menengah ada tiga kemungkinan bentuknya yaitu :
a.       Mengundurkan diri dari sekolah sebelum menamatkan pelajarannya.
b.      Gagal dalam mencapai ujian akhir
c.       Tak dapat melanjutkan pelajaran bagi siswa yang cerdas karena biaya (drop-out ini merupakan kerugian paling besar bagi masyarakat dan negara, juga bagi indivisu yang bersangkutan). Drop-out yang terjadi di sekolah menengah itu terjadi juga pada tingkat perguruan tinggi.
3.      Masalah ketidakseimbangan horizontal dan vertikal
Dalam perkembangan persekolahan kita terjadilah ketidak-seimbangan horizontal dan vertikal. Yang dimaksud dengan ketidak-seimbangan horizontal adalah ketidakseimbangan jumlah sekolah dan muridnya antara sekolah umum dan sekolah kejuruan pada masing-masing tingkat pendidikan. Sedangkan ketidakseimbangan vertikal artinya ketidakseimbangan jumlah antara mutu tingkat sekolah dengan tingkat diatasnya. Ketidakseimbangan horizontal itu terjadi pada tingkat perguruan tinggi yaitu mengenai perbandingan jumlah fakultas-fakultas. 
4.      Masalah Tenaga Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut : untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta, guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
5.      Masalah Kurikulum dan Metode Mengajar yang Sama
                        Kurikulum sekolah-sekolah kita dipandang sudah usang, begitu juga metode pembelajaran yang dipakai adalah metode pasif dan tradisional, menyebabkan sekolah menjadi terasing dari masyarakat dan ketinggalan dari perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan. Akibatnya tamatan sekolah tidak fungsional bagi tugas-tugas pekerjaan dalam masyarakat, sehingga sekolah-sekolah tidak menunjang pembangunan, melainkan justru menghambat pembangunan.
6.    Masalah uang sumbangan pendidikan
           Pada tiap-tiap awal tahun ajaran baru, masalah uang sumbangan pendidikan selalu menjadi aktual dan menjadi sarana kritik masyarakat, karena adanya veriailita yang cukup besar dalam hal besarnya uang sumbangan pendidikan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Disamping itu sering terjadi pula penentuan uang sumbangan pendidikan yang jumlahnya di luar kemampuan orang tua, sehingga dapat terjadi adanya anak-anak yang cerdas, karena tidak mampunya orang tuanya, tidak dapat melanjutkan sekolah. Keadaan semacam ini mempunyai dua akibat negatif yaitu :
a.       Permborosan human resources yang merugikan masyarakat dan negara
b.      Pendidikan yang tidak demokratik, fasilitas pendidikan yang baik hanya terbuka bagi anak-anak dari keluarga yang berada saja
7.    Masalah Ujian Negara yang Sentralistik
           Dipertahankannya ujian negara untuk semua jenis dan tingkat pendidikan lebih banyak mengandung kelemahan-kelemahan daripada kebaikannya. Kelemahan-kelemahan akibat ujian negara yang bersifat sentralistik yaitu :
a.       Menyamaratakan taraf pendidikan sekolah-sekolah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang veriabilitasnya sangat besar, ini tidak realistik.
b.      Ujian negara merupakan penghambat yang penting terhadap usaha-usaha pembaharuan pendidikan
c.       Adanya ujian negara menimbulkan kecenderungan pada sekolah untuk mengajarkan bahan-bahan materi yang diujikan saja dan meninggalkan bahan-bahan yang tidak diujikan
d.       Ujian negara telah menimbulkan pemborosan finansial bagi negara
e.       Kebocoran ujian di suatu daerah, praktis berarti kebocoran yang bersifat nasional sehingga berarti pemborosan uang dan waktu
f.       Adanya pengatrolan nilai-nilai beberapa  bahan materi ujian berarti bahwa ijasah negara sebenarnya memberikan gambaran yang palsu
g.      Anak-anak dari sekolah negeri maupun swasta harus menempuh ujian berkali-kali yaitu ujian sekolah berupa tertulis dan praktek sebelum ujian negara lalu ujian negara kemudian apabila mereka melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi (pergutruan tinggi) mereka harus menempuh ujian sekali lagi yaitu ujian seleksi masuk perguruan tinggi, adanya macam-macam ujian ini berarti pemborosan uang dan tenaga serta merupakan teror mental bagi anak.
8.    Masalah Kemacetan Mekanisme Inspeksi dan Supervisi
           Adanya sebagian besar guru (misal untuk tingkat SD  2/3) yang sebenarnya tidak berwenang mengajar karena pendidikannya kurang memenuhi syarat, maka inspeksi dan supervisi yang fungsinya mengawasi, menilai dan membimbing pekerjaan guru dianggap memegang peranan penting. Tetapi kenyataannya aparat inspeksi dan supervisi kita boleh dikatakan macet sama sekali. Di samping kurangnya tenaga kurang quualifiednya personil, terlihatnya mereka pada tugas-tugas administratif dan sangat jeleknya perhubungan (terutama di luar Jawa) semuanya itu merupakan faktor-faktor penghambat pelaksanaan inspeksi dan supervisi sebagaimana seharusnya.
9.    Masalah Tidak Memenuhinya Syarat-Syarat Prasarana dan Sarana Pendidikan
           Masalah kekurangan gedung sekolah, mobiler, textbooks, alat-alat peraga, buku-buku untuk perpustakaan, alat-alat praktikum, ruang laboratorium, dan terutama biaya, semuanya merupakan problem pendidikan yang sulit.
C.    Usaha-Usaha Pemecahan Masalah Pendidikan
1.    Masalah Penampungan anak-anak untuk bersekolah
        Harus ada progam yang menyeluruh, terperinci untuk mengatasi kebutuhan akan sekolah serta pendidikan di luar sekolah bagi mereka yang tidak tertampung di sekolah (pendidikan masyarakat).
2.    Masalah drop-out
        Pemecahan masalah drop-out dilakukan dengan mengintrodusir automatic promotion pada tingkat Sekolah Dasar dari kelas I-VI. Tetapi pelaksanaan automatic promotion barulah berupa plot proyek pada beberapa sekolah percobaan IKIP dan belum dalam skala nasional. Pelaksanaan automatic promotion ini memerlukan beberapa kondisi antara lain : upgrading guru (terutama guru kelas I-VI), adanya guru-guru khusus untuk menghadapi “slow-learner” maupun anak-anak yang memiliki kecerdasan istimewa, penyempurnaan alat-alat pelajaran, pembaharuan metode pengorganisasi kelas dan lain sebagainya.
3.    Masalah ketidakseimbangan horizontal dan vertikal serta masalah kurikulum
        Masalah tersebut dipecahkan dengan mengintroduksikan ide sekolah komprehensif. Dengan sekolah komprehensif diharapkan adanya perubahan radikal sekolah-sekolah, perubahan itu meliputi : tujuan pendidikan, organisasi, metode mengajar, kurikulumnya dan sebagainya.
4.    Masalah tenaga guru
        Mengenai maalah tenaga guru itu, ada dua hal yang perlu dihadapi yaitu: mengatasi kekurangan tenaga guru dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi dan meng up-grade tenaga yang sudah ada. Guru memegang peranan sentral dalam proses pendidikan/pengajaran, maka keadaan tersebut menghambat perkembangan pendidikan.
5.    Masalah uang sumbangan pendidikan
        Dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri Pendidikan yang mengatur mengenai uang sumbangan prndidikan, maka diharapkan anarkhi dalam pungutan sumbangan pendidikan dapat diakhiri.
6.    Maslah ujian negara
        Masalah tersebut dapat diatasi pemerintah dengan jalan menghapus ujian negara yang sentralistik dan menggantinya dengan ujian dan ijasah sekolah. Apabila ujian negara diganti dengan ujian sekolah, maka kondisi yang perlu dipersiapkan adalah : upgrading guru-guru, memperbaiki mekanisme inspeksi dan supervisi, diciptakannya alat-alat evaluasi yang baru, adanya textbooks yang dapat dijadikan standar untuk tiap mata pelajaran, adanya silabus yang lengkap dan teacher’s manual untuk tiap mata pelajaran dan perlunya informasi dan pengertian di pihak masyarakat dan pasaran kerja.
7.    Masalah inspeksi dan supervisi
        Perlu adanya peningkatan personil, sistem dan organisasi inspeksi dan supervisi yang bersifat menyeluruh, terperinci dan lengkap. Karena dapat dilihat dari fungsinya yang sangat penting dalam rangka pengembangan pendidikan sebab : adanya sebagian besar guru yang kurang qualified memerlukan bimbingan dan pengawasan dan juga rendahnya moral sebagian besar guru sangat memerlukan adanya pengawasan. Tidak hanya progam yang jelas untuk meningkatkan inspeksi dan supervisi merupakan suatu problem pendidikan.
8.    Masalah prasarana dan sarana prndidikan
        Adanya laboratorium, buku-buku, perpustakaan, mebiller dan perbaikan gedung sekolah di samping itu sangat penting pula adalah perbaikan insentive kepada para guru sedemikian rupa sehingga menimbulkan gairah yang besar dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, sebab tugas mendidik dan mengajar memerlukan ketenangan batin dan hal itu akan tercapai bila kecukupan kebutuhan materialnya.
D.    Pembangunan Pendidikan di Indonesia sekarang ini
Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2007, adalah waktu yang tepat bagi seluruh masyarakat dan pemerintah untuk berintrospeksi dan meninjau ulang pembangunan pendidikan nasional. Sebab, keberhasilan negara-negara maju mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak dapat dilepaskan dari peran sektor pendidikan. Dari sektor itu telah lahir banyak sumber daya manusia (SDM) unggulan yang mampu menggerakkan proses produksi di semua lini perekonomian.
Sebaliknya, tidak sedikit negara yang masih dihadapkan kepada kemiskinan akibat tingkat pendidikan yang sangat rendah. Bahkan, terdapat negara-negara yang pembangunan ekonominya masih berjalan di tempat (stagnan) hanya disebabkan oleh rendahnya kemampuan alokasi anggaran negara terhadap pemenuhan anggaran pendidikan nasional.
Untuk pembentukan indeks pembangunan manusia (IPM) yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan suatu bangsa, faktor pendidikan merupakan salah satu indikator komposit, selain faktor kesehatan dan daya beli masyarakat. Karena itu, pembangunan pendidikan menjadi isu penting dan berperan strategis bagi kemajuan taraf kesejahteraan penduduk setiap negara.
Dari segi pembiayaan, upaya untuk meningkatkan peran pendidikan di Indonesia sebagai indikator pembentuk IPM memang belumlah begitu besar. Hal itu ditunjukkan dengan masih rendahnya anggaran pengeluaran bagi pembiayaan pembangunan pendidikan nasional yang tercantum pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang rata-rata masih di bawah 10 persen. Sementara itu di beberapa negara ASEAN, alokasi anggaran sudah mencapai rata-rata antara 20 hingga 40 persen.
Memang perlu banyak penelitian lanjutan, apakah ada korelasi yang cukup kuat antara pengaruh anggaran pendidikan nasional dengan pembentukan IPM nasional. Namun, setidaknya laporan UNDP 2006 dapat membuat kita termenung sejenak. UNDP melaporkan bahwa IPM Indonesia 2003 berada pada posisi 110 dari 117 negara, atau naik satu tingkat dibandingkan 2002. Untuk tingkat negara-negara ASEAN, kita berada di bawah Vietnam. Begitu rendahkah pencapaian IPM kita?
Memang IPM tidak sekadar angka, karena yang terpenting adalah sejauh mana kita peduli akan akses masyarakat dalam memperoleh pelayanan jasa pendidikan sebelum mencapai kesejahteraannya (taraf hidup yang layak). Kesejahteraan itu sendiri hanya berpeluang dicapai kalau orang memiliki pendapatan dari pekerjaan yang ia terima. Adapun pekerjaan itu sendiri hanya tersedia bagi orang-orang yang mempunyai keterampilan yang bersumber dari jalur pendidikan formal maupun bukan formal.
Untuk memperoleh pendidikan, dapat dipastikan memerlukan biaya yang relatif tidak sedikit, terlebih kalau subsidi dan pembiayaan pembangunan pendidikan yang bersumber dari APBN terbatas.
Sudah tentu masalah pembangunan sektor pendidikan bukan semata-mata terletak pada persoalan anggaran saja, melainkan juga pada masalah lain. Satu di antaranya adalah kinerja negara dalam mendukung pendidikan dasar. Hal itu dikemukakan ekonom Faisal Basri (2005) dalam suatu makalahnya yang menyebutkan bahwa posisi Indonesia pada 2005 berada pada urutan ke-10 dari 14 negara di Asia-Pasifik dalam hal kinerja negara dalam mendukung pendidikan dasar.
Untuk pembentukan indeks pembangunan manusia (IPM) yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan suatu bangsa, faktor pendidikan merupakan salah satu indikator komposit, selain faktor kesehatan dan daya beli masyarakat.
Posisi itu masih di bawah Vietnam, Kamboja, dan Filipina. Urutan ke-1 ditempati Thailand, ke-2 Malaysia, dan ke-3 Sri Langka. Kondisi itu memberi kesan kita belum optimal dalam membangun fondasi pendidikan nasional, sehingga krisis ekonomi yang berkepanjangan diduga juga karena kepedulian terhadap dunia pendidikan -terutama pendidikan dasar dan menengah- belum sepenuhnya dilakukan.
Apa sesungguhnya letak masalah di sektor pendidikan kita? Apakah karena kita terlalu menitikberatkan kepada pendekatan penyediaan input saja, seperti keinginan agar anggaran pendidikan dapat mencapai 20 persen dari total APBN ataupun APBD?
Selain itu, apakah karena kebijakan pendidikan juga masih berputar-putar pada persoalan penyediaan sarana dan prasarana, penambahan jumlah guru, alokasi waktu belajar dan mengajar, dan ujian nasional saja>
Barangkali sebaiknya kita mulai berpikir, seharusnya kebijakan pembangunan pendidikan sudah bergeser dari persoalan input ke pendekatan yang lebih menekankan pada output dengan fokus kepada keberhasilan melahirkan para pelajar maupun mahasiswa yang berkapasitas unggulan yang berbasis pada tingginya intensitas kegiatan membaca, penguasaan ilmu pengetahuan, dan kemampuan matematika.
Berdasarkan laporan Unesco, posisi kinerja para peserta didik kita dipandang dari sisi kombinasi kegiatan membaca, penguasaan ilmu pengetahuan, dan kemampuan matematika, masih di bawah Argentina, Hong Kong, Korea, Meksiko, dan Thailand. Misalnya penguasaan matematika, kita hanya memperoleh skor 367 jauh lebih rendah dibandingkan dengan Hong Kong yang mencapai skor 550 dan Korea 547. Paling juga kita hampir sama dengan Thailand yang memiliki skor 432.
Tampaknya pembangunan di sektor pendidikan yang terfokus kepada output sudah menjadi keharusan karena berbagai negara kini telah berlomba-lomba menghasilkan SDM unggulan yang berdaya saing tinggi. Setidaknya ada lima faktor yang dapat memengaruhi kinerja peserta didik kita, yaitu lingkungan keluarga, atmosfer persekawanan, sumber daya sekolah, kecerdasan yang berasal dari dalam diri sendiri, dan aksesibilitas pencapaian informasi.
Faktor lingkungan keluarga adalah faktor yang pertama sekali dikenali peserta didik, dan merupakan faktor yang sangat dekat dalam proses pembentukan personaliti, daya juang, nilai-nilai standar yang memandang penguasaan ilmu pengetahuan sebagai dasar terbentuknya kompetensi.
Pada dasarnya kultur pembiasaan membangun daya saing di kehidupan keluarga akan memudahkan peserta didik memahami jalan yang tepat menuju pencapaian terbentuknya SDM yang berkapasitas skills yang tinggi. Oleh karena itu, pengetahuan orang tua terhadap atmosfer pendidikan yang berkembang dan maju di era globalsasi sekarang ini menjadi faktor penting dalam menyukseskan keberhasilan peserta didik dari faktor lingkungan keluarga.
Faktor persekawanan adalah faktor yang menjadi perbandingan bagi peserta didik untuk mengukur seberapa jauh kemampuan yang dipunyainya dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Lingkungan persekawanan yang dirasakan oleh peserta didik dapat turut memengaruhi perkembangan pola pikir dan pola tindak peserta didik karena fase umur yang masih dominan dengan kekuatan emosional diri yang selalu ingin unggul dan tidak ingin tertinggal dari kawan-kawannya sesama peserta didik.
Oleh karena itu, bilamana faktor persekawanan memiliki visi keunggulan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan, keadaan lingkungan persekawanan itu akan turut membentuk kinerja peserta didik.
Faktor sumber daya sekolah adalah faktor kemampuan sekolah sebagai tempat proses pembelajaran dalam menyediakan sumber daya dari sarana dan prasarana sekolah hingga pada kurikulum dan materi pembelajaran yang tepat, termasuk kemampuan penyampaian materi pembelajaran yang benar dan baik dari para pendidik (guru).
Oleh karena itu, kepala sekolah seyogianya dapat menyadari bahwa ia adalah seorang manajer sekolah yang memiliki visi dan misi serta program-program pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan era globalisasi. Kepala sekolah beserta staf guru harus mampu dapat menyusun suatu perencanaan pembelajaran melalui suatu pola manajemen sekolah yang berorientasi kepada keunggulan dan daya saing peserta didik.
Faktor kecerdasan yang berasal dari dalam diri sendiri sebenarnya merupakan keragaman yang tak terbantahkan karena sudah melekat pada diri para peserta didik. Namun tidak mustahil, dasar kecerdasan dapat ditingkatkan melalui proses stimulasi yang tepat melalui program-program stimulasi berdasarkan keragaman kecerdasan peserta didik itu sendiri.
Faktor aksesibilitas pencapaian terhadap informasi adalah faktor yang melengkapi faktor-faktor pembentuk kinerja peserta didik. Faktor itu lebih menitikberatkan kepada penguasaan informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sudah terlebih dahulu berjalan di negara-negara maju, atau akses informasi itu dapat dijadikan oleh peserta didik sebagai sumber pengetahuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran atau penemuan-penemuan yang bersifat inovatif.
Pembangunan di sektor pendidikan bukanlah persoalan yang sederhana, melainkan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Namun demikian, pengelolaan pembangunan pendidikan harus menjadi skala prioritas utama dalam pembangunan nasional. Sebab fakta membuktikan, keberhasilan perekonomian negara-negara industri maju terlebih dahulu diawali oleh kemajuan sektor pendidikannya yang menghasilkan sumber daya unggul dan berdaya saing.
Untuk mencapai pembangunan pendidikan yang berhasil, seyogianya kita tidak hanya berorientasi kepada pembangunan di sektor input, tapi juga pada output. Semoga keputusan pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dapat dijadikan momentum bagi pencapaian kinerja pendidikan nasional yang lebih baik lagi, sekaligus diharapkan dapat mendorong IPM sebagai indeks yang mengindikasikan ukuran taraf kesejahteraan bangsa.(68).
E.     Penutup
Pendidikan adalah salah satu faktor yang paling penting dalam kemajuan negara. Di Indonesia pendidikan masih sangat rendah. Ada beberapa masalah yang dihadapi yaitu masalah banyaknya anak yang dapat ditampung di sekolah, masalah besarnya drop-out, masalah ketidakseimbangan vertikal dan horizontal, masalah tenaga guru, masalah kurikulum dan metode mengajar yang sama, masalah uang sumbangan pendidikan, masalah ujian negara yang sentralistik, masalah kemacetan mekanisme inspeksi dan supervisi dan masalah tidak terpenuhinya syarat-syarat prasarana dan sarana pendidikan.
Banyaknya masalah masa lampau dan masih banyak juga masalah pembangunan pendidikan sekarang ini yang juga merupakan sisa dari masalah masa lampau. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja peserta didik, yaitu lingkungan keluarga, atmosfer persekawanan, sumber daya sekolah, kecerdasan yang berasal dari dalam diri sendiri, dan aksesibilitas pencapaian informasi.















DAFTAR PUSTAKA

Purwanti. 2007. Suara Merdeka Perekat Komunitas Jawa Tengah. http://www.suaramerdeka.com/harian/0705/02/opi03.htm (5 April 2012).

Vembrianto. 1981. Kapita Selekta Pendidikan Jilid Pertama. Yogyakarta : Yayasan Pendidikan “Paramita” Yogyakarta.

..................  . 1982. Kapita Selekta Pendidikan Jilid Kedua. Yogyakarta : Yayasan Pendidikan “Paramita” Yogyakarta.