PROBLEMATIKA
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh:
Novieta Wahyu
(2011-33-174)
A.
Pendahuluan
Sejarah telah mengukir bahwa pada saat mulai
terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajah, tingkat pendidikan bangsa
kita pada umumnya masih sangat rendah. Bahkan telah terbukti bahwa tidak
sedikit penduduk Indonesia yang masih buta huruf. Apakah kenyataan tersebut masih
berlangsung sampai sekarang? Pemerintah telah bertekad dan dengan penuh
perhatian untuk meletakkan sektor pendidikan pada posisi yang sangat penting
dalam kerangka pembangunan nasional.
Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan perubahan
dalam hidupnya. Salah satu diantara sekian banyak perubahan tersebut adalah
pendidikan dan pembangunan. Sedangkan pendidikan di Indonesia setiap tahun
mengalami perubahan yang tidak teratur dan tidak seimbang. Begitu pula dengan
pembangunan, pada saat ini pembangunan di Indonesia mengalami ketidakseimbangan.
Jumlah sumber daya alam di Indonesia sangat memadai akan tetapi sumber daya
manusia yang berkualitas yang kurang memadai.
Pendidikan mempunyai tugas
menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan
selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu
memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Mengenai masalah pedidikan,
perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin
dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih
rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan
UU pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya
rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi,
maupun kota dan kabupaten.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam tulisan
ini fokus tulisan adalah sebagai berikut :
1. Apa
sajakah masalah-masalah pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana
solusi/pemecahan masalah pendidikan di Indoneisa?
3. Bagaimana
pembangunan pendidikan sekarang ini?
Adapun
tujuan penulisan ini adalah:
1. Mengetahui
apa sajakah masalah-masalah pendidikan di Indonesia.
2. Memahami
solusi/pemecahan masalah pendidikan yang ada di Indonesia.
3. Mengerti
tentang pembangunan pendidikan sekarang ini mulai dari problematikanya,
perencanaan solusinya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
B.
Masalah-Masalah
Pendidikan Di Indonesia
Masalah-masalah pendidikan di
Indonesia sangat banyak dan satu sama lain mempunyai hubungan yang kompleks.
Masalah-masakah pendidikan yang pokok adalah sebagai berikut :
1. Masalah
banyaknya anak yang tidak dapat ditampung di sekolah
Salah satu
masalah besar dan sulit kita pecahkan adalah banyaknya anak yang tidak dapat
ditampung di sekolah.
2. Masalah
besarnya Drop-out
Drop out artinya
meninggalkan sekolah sebelum menamatkan pelajaran. Drop-out pada tingkat
sekolah dasar mencapai tingkat functional
literacy akan berakibat anak menjadi buta huruf kembali. Drop-out merupakan
salah satu pemborosan pendidikan, karena drop-out hanya pendidikan menjadi 3-4
kali lebih besar daripada seharusnya. Drop-out pada tingkat sekolah menengah
ada tiga kemungkinan bentuknya yaitu :
a. Mengundurkan
diri dari sekolah sebelum menamatkan pelajarannya.
b. Gagal
dalam mencapai ujian akhir
c. Tak
dapat melanjutkan pelajaran bagi siswa yang cerdas karena biaya (drop-out ini
merupakan kerugian paling besar bagi masyarakat dan negara, juga bagi indivisu
yang bersangkutan). Drop-out yang terjadi di sekolah menengah itu terjadi juga
pada tingkat perguruan tinggi.
3. Masalah
ketidakseimbangan horizontal dan vertikal
Dalam
perkembangan persekolahan kita terjadilah ketidak-seimbangan horizontal dan
vertikal. Yang dimaksud dengan ketidak-seimbangan horizontal adalah
ketidakseimbangan jumlah sekolah dan muridnya antara sekolah umum dan sekolah
kejuruan pada masing-masing tingkat pendidikan. Sedangkan ketidakseimbangan
vertikal artinya ketidakseimbangan jumlah antara mutu tingkat sekolah dengan
tingkat diatasnya. Ketidakseimbangan horizontal itu terjadi pada tingkat
perguruan tinggi yaitu mengenai perbandingan jumlah fakultas-fakultas.
4. Masalah
Tenaga Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut
: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk
SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang
Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan
tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta,
guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10
ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi
les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS,
pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen,
barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu
sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru
dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru
swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan
swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan
Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat
dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan
amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
5.
Masalah Kurikulum dan Metode Mengajar yang Sama
Kurikulum
sekolah-sekolah kita dipandang sudah usang, begitu juga metode pembelajaran yang
dipakai adalah metode pasif dan tradisional, menyebabkan sekolah menjadi
terasing dari masyarakat dan ketinggalan dari perkembangan jaman dan ilmu
pengetahuan. Akibatnya tamatan sekolah tidak fungsional bagi tugas-tugas
pekerjaan dalam masyarakat, sehingga sekolah-sekolah tidak menunjang
pembangunan, melainkan justru menghambat pembangunan.
6. Masalah uang
sumbangan pendidikan
Pada
tiap-tiap awal tahun ajaran baru, masalah uang sumbangan pendidikan selalu
menjadi aktual dan menjadi sarana kritik masyarakat, karena adanya veriailita
yang cukup besar dalam hal besarnya uang sumbangan pendidikan antara sekolah
yang satu dengan sekolah yang lain. Disamping itu sering terjadi pula penentuan
uang sumbangan pendidikan yang jumlahnya di luar kemampuan orang tua, sehingga
dapat terjadi adanya anak-anak yang cerdas, karena tidak mampunya orang tuanya,
tidak dapat melanjutkan sekolah. Keadaan semacam ini mempunyai dua akibat
negatif yaitu :
a. Permborosan human resources yang merugikan
masyarakat dan negara
b. Pendidikan
yang tidak demokratik, fasilitas pendidikan yang baik hanya terbuka bagi
anak-anak dari keluarga yang berada saja
7. Masalah
Ujian Negara yang Sentralistik
Dipertahankannya
ujian negara untuk semua jenis dan tingkat pendidikan lebih banyak mengandung
kelemahan-kelemahan daripada kebaikannya. Kelemahan-kelemahan akibat ujian
negara yang bersifat sentralistik yaitu :
a. Menyamaratakan
taraf pendidikan sekolah-sekolah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang
veriabilitasnya sangat besar, ini tidak realistik.
b. Ujian negara
merupakan penghambat yang penting terhadap usaha-usaha pembaharuan pendidikan
c. Adanya ujian
negara menimbulkan kecenderungan pada sekolah untuk mengajarkan bahan-bahan
materi yang diujikan saja dan meninggalkan bahan-bahan yang tidak diujikan
d. Ujian negara telah menimbulkan pemborosan
finansial bagi negara
e. Kebocoran
ujian di suatu daerah, praktis berarti kebocoran yang bersifat nasional
sehingga berarti pemborosan uang dan waktu
f. Adanya
pengatrolan nilai-nilai beberapa bahan
materi ujian berarti bahwa ijasah negara sebenarnya memberikan gambaran yang
palsu
g. Anak-anak
dari sekolah negeri maupun swasta harus menempuh ujian berkali-kali yaitu ujian
sekolah berupa tertulis dan praktek sebelum ujian negara lalu ujian negara
kemudian apabila mereka melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi (pergutruan
tinggi) mereka harus menempuh ujian sekali lagi yaitu ujian seleksi masuk
perguruan tinggi, adanya macam-macam ujian ini berarti pemborosan uang dan
tenaga serta merupakan teror mental bagi anak.
8. Masalah
Kemacetan Mekanisme Inspeksi dan Supervisi
Adanya
sebagian besar guru (misal untuk tingkat SD 2/3) yang sebenarnya tidak berwenang mengajar
karena pendidikannya kurang memenuhi syarat, maka inspeksi dan supervisi yang
fungsinya mengawasi, menilai dan membimbing pekerjaan guru dianggap memegang
peranan penting. Tetapi kenyataannya aparat inspeksi dan supervisi kita boleh
dikatakan macet sama sekali. Di samping kurangnya tenaga kurang quualifiednya
personil, terlihatnya mereka pada tugas-tugas administratif dan sangat jeleknya
perhubungan (terutama di luar Jawa) semuanya itu merupakan faktor-faktor
penghambat pelaksanaan inspeksi dan supervisi sebagaimana seharusnya.
9. Masalah
Tidak Memenuhinya Syarat-Syarat Prasarana dan Sarana Pendidikan
Masalah
kekurangan gedung sekolah, mobiler, textbooks, alat-alat peraga, buku-buku
untuk perpustakaan, alat-alat praktikum, ruang laboratorium, dan terutama
biaya, semuanya merupakan problem pendidikan yang sulit.
C.
Usaha-Usaha
Pemecahan Masalah Pendidikan
1. Masalah Penampungan
anak-anak untuk bersekolah
Harus ada progam yang menyeluruh,
terperinci untuk mengatasi kebutuhan akan sekolah serta pendidikan di luar
sekolah bagi mereka yang tidak tertampung di sekolah (pendidikan masyarakat).
2. Masalah
drop-out
Pemecahan masalah drop-out dilakukan
dengan mengintrodusir automatic promotion
pada tingkat Sekolah Dasar dari kelas I-VI. Tetapi pelaksanaan automatic promotion barulah berupa plot
proyek pada beberapa sekolah percobaan IKIP dan belum dalam skala nasional.
Pelaksanaan automatic promotion ini
memerlukan beberapa kondisi antara lain : upgrading guru (terutama guru kelas
I-VI), adanya guru-guru khusus untuk menghadapi “slow-learner” maupun anak-anak yang memiliki kecerdasan istimewa,
penyempurnaan alat-alat pelajaran, pembaharuan metode pengorganisasi kelas dan
lain sebagainya.
3. Masalah ketidakseimbangan
horizontal dan vertikal serta masalah kurikulum
Masalah tersebut dipecahkan dengan
mengintroduksikan ide sekolah komprehensif. Dengan sekolah komprehensif
diharapkan adanya perubahan radikal sekolah-sekolah, perubahan itu meliputi : tujuan
pendidikan, organisasi, metode mengajar, kurikulumnya dan sebagainya.
4. Masalah
tenaga guru
Mengenai maalah tenaga guru itu, ada dua
hal yang perlu dihadapi yaitu: mengatasi kekurangan tenaga guru dari tingkat SD
sampai Perguruan Tinggi dan meng up-grade tenaga yang sudah ada. Guru memegang
peranan sentral dalam proses pendidikan/pengajaran, maka keadaan tersebut
menghambat perkembangan pendidikan.
5. Masalah uang
sumbangan pendidikan
Dengan dikeluarkannya surat keputusan
Menteri Pendidikan yang mengatur mengenai uang sumbangan prndidikan, maka
diharapkan anarkhi dalam pungutan sumbangan pendidikan dapat diakhiri.
6. Maslah ujian
negara
Masalah tersebut dapat diatasi pemerintah
dengan jalan menghapus ujian negara yang sentralistik dan menggantinya dengan
ujian dan ijasah sekolah. Apabila ujian negara diganti dengan ujian sekolah,
maka kondisi yang perlu dipersiapkan adalah : upgrading guru-guru, memperbaiki
mekanisme inspeksi dan supervisi, diciptakannya alat-alat evaluasi yang baru,
adanya textbooks yang dapat dijadikan standar untuk tiap mata pelajaran, adanya
silabus yang lengkap dan teacher’s manual
untuk tiap mata pelajaran dan perlunya informasi dan pengertian di pihak masyarakat
dan pasaran kerja.
7. Masalah
inspeksi dan supervisi
Perlu adanya peningkatan personil,
sistem dan organisasi inspeksi dan supervisi yang bersifat menyeluruh,
terperinci dan lengkap. Karena dapat dilihat dari fungsinya yang sangat penting
dalam rangka pengembangan pendidikan sebab : adanya sebagian besar guru yang
kurang qualified memerlukan bimbingan dan pengawasan dan juga rendahnya moral
sebagian besar guru sangat memerlukan adanya pengawasan. Tidak hanya progam
yang jelas untuk meningkatkan inspeksi dan supervisi merupakan suatu problem
pendidikan.
8. Masalah
prasarana dan sarana prndidikan
Adanya laboratorium, buku-buku, perpustakaan,
mebiller dan perbaikan gedung sekolah di samping itu sangat penting pula adalah
perbaikan insentive kepada para guru
sedemikian rupa sehingga menimbulkan gairah yang besar dalam menjalankan
tugasnya sehari-hari, sebab tugas mendidik dan mengajar memerlukan ketenangan
batin dan hal itu akan tercapai bila kecukupan kebutuhan materialnya.
D. Pembangunan Pendidikan di Indonesia sekarang ini
Hari Pendidikan
Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2007, adalah waktu yang tepat bagi
seluruh masyarakat dan pemerintah untuk berintrospeksi dan meninjau ulang
pembangunan pendidikan nasional. Sebab, keberhasilan negara-negara maju
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak dapat dilepaskan dari
peran sektor pendidikan. Dari sektor itu telah lahir banyak sumber daya manusia
(SDM) unggulan yang mampu menggerakkan proses produksi di semua lini
perekonomian.
Sebaliknya, tidak sedikit negara
yang masih dihadapkan kepada kemiskinan akibat tingkat pendidikan yang sangat
rendah. Bahkan, terdapat negara-negara yang pembangunan ekonominya masih
berjalan di tempat (stagnan) hanya disebabkan oleh rendahnya kemampuan alokasi anggaran
negara terhadap pemenuhan anggaran pendidikan nasional.
Untuk pembentukan indeks pembangunan
manusia (IPM) yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan suatu bangsa, faktor
pendidikan merupakan salah satu indikator komposit, selain faktor kesehatan dan
daya beli masyarakat. Karena itu, pembangunan pendidikan menjadi isu penting
dan berperan strategis bagi kemajuan taraf kesejahteraan penduduk setiap
negara.
Dari segi pembiayaan, upaya untuk
meningkatkan peran pendidikan di Indonesia sebagai indikator pembentuk IPM
memang belumlah begitu besar. Hal itu ditunjukkan dengan masih rendahnya
anggaran pengeluaran bagi pembiayaan pembangunan pendidikan nasional yang
tercantum pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang rata-rata
masih di bawah 10 persen. Sementara itu di beberapa negara ASEAN, alokasi
anggaran sudah mencapai rata-rata antara 20 hingga 40 persen.
Memang perlu banyak penelitian
lanjutan, apakah ada korelasi yang cukup kuat antara pengaruh anggaran
pendidikan nasional dengan pembentukan IPM nasional. Namun, setidaknya laporan
UNDP 2006 dapat membuat kita termenung sejenak. UNDP melaporkan bahwa IPM
Indonesia 2003 berada pada posisi 110 dari 117 negara, atau naik satu tingkat
dibandingkan 2002. Untuk tingkat negara-negara ASEAN, kita berada di bawah
Vietnam. Begitu rendahkah pencapaian IPM kita?
Memang IPM tidak sekadar angka,
karena yang terpenting adalah sejauh mana kita peduli akan akses masyarakat
dalam memperoleh pelayanan jasa pendidikan sebelum mencapai kesejahteraannya
(taraf hidup yang layak). Kesejahteraan itu sendiri hanya berpeluang dicapai
kalau orang memiliki pendapatan dari pekerjaan yang ia terima. Adapun pekerjaan
itu sendiri hanya tersedia bagi orang-orang yang mempunyai keterampilan yang
bersumber dari jalur pendidikan formal maupun bukan formal.
Untuk memperoleh pendidikan, dapat
dipastikan memerlukan biaya yang relatif tidak sedikit, terlebih kalau subsidi
dan pembiayaan pembangunan pendidikan yang bersumber dari APBN terbatas.
Sudah tentu masalah pembangunan
sektor pendidikan bukan semata-mata terletak pada persoalan anggaran saja,
melainkan juga pada masalah lain. Satu di antaranya adalah kinerja negara dalam
mendukung pendidikan dasar. Hal itu dikemukakan ekonom Faisal Basri (2005)
dalam suatu makalahnya yang menyebutkan bahwa posisi Indonesia pada 2005 berada
pada urutan ke-10 dari 14 negara di Asia-Pasifik dalam hal kinerja negara dalam
mendukung pendidikan dasar.
Untuk pembentukan indeks pembangunan
manusia (IPM) yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan suatu bangsa, faktor
pendidikan merupakan salah satu indikator komposit, selain faktor kesehatan dan
daya beli masyarakat.
Posisi itu masih di bawah Vietnam,
Kamboja, dan Filipina. Urutan ke-1 ditempati Thailand, ke-2 Malaysia, dan ke-3
Sri Langka. Kondisi itu memberi kesan kita belum optimal dalam membangun
fondasi pendidikan nasional, sehingga krisis ekonomi yang berkepanjangan diduga
juga karena kepedulian terhadap dunia pendidikan -terutama pendidikan dasar dan
menengah- belum sepenuhnya dilakukan.
Apa sesungguhnya letak masalah di
sektor pendidikan kita? Apakah karena kita terlalu menitikberatkan kepada
pendekatan penyediaan input saja, seperti keinginan agar anggaran
pendidikan dapat mencapai 20 persen dari total APBN ataupun APBD?
Selain itu, apakah karena kebijakan
pendidikan juga masih berputar-putar pada persoalan penyediaan sarana dan
prasarana, penambahan jumlah guru, alokasi waktu belajar dan mengajar, dan
ujian nasional saja>
Barangkali sebaiknya kita mulai
berpikir, seharusnya kebijakan pembangunan pendidikan sudah bergeser dari
persoalan input ke pendekatan yang lebih menekankan pada output
dengan fokus kepada keberhasilan melahirkan para pelajar maupun mahasiswa yang
berkapasitas unggulan yang berbasis pada tingginya intensitas kegiatan membaca,
penguasaan ilmu pengetahuan, dan kemampuan matematika.
Berdasarkan laporan Unesco, posisi
kinerja para peserta didik kita dipandang dari sisi kombinasi kegiatan membaca,
penguasaan ilmu pengetahuan, dan kemampuan matematika, masih di bawah
Argentina, Hong Kong, Korea, Meksiko, dan Thailand. Misalnya penguasaan
matematika, kita hanya memperoleh skor 367 jauh lebih rendah dibandingkan
dengan Hong Kong yang mencapai skor 550 dan Korea 547. Paling juga kita hampir
sama dengan Thailand yang memiliki skor 432.
Tampaknya pembangunan di sektor
pendidikan yang terfokus kepada output sudah menjadi keharusan karena
berbagai negara kini telah berlomba-lomba menghasilkan SDM unggulan yang
berdaya saing tinggi. Setidaknya ada lima faktor yang dapat memengaruhi kinerja
peserta didik kita, yaitu lingkungan keluarga, atmosfer persekawanan, sumber
daya sekolah, kecerdasan yang berasal dari dalam diri sendiri, dan
aksesibilitas pencapaian informasi.
Faktor lingkungan keluarga adalah
faktor yang pertama sekali dikenali peserta didik, dan merupakan faktor yang
sangat dekat dalam proses pembentukan personaliti, daya juang, nilai-nilai
standar yang memandang penguasaan ilmu pengetahuan sebagai dasar terbentuknya
kompetensi.
Pada dasarnya kultur pembiasaan
membangun daya saing di kehidupan keluarga akan memudahkan peserta didik
memahami jalan yang tepat menuju pencapaian terbentuknya SDM yang berkapasitas skills
yang tinggi. Oleh karena itu, pengetahuan orang tua terhadap atmosfer
pendidikan yang berkembang dan maju di era globalsasi sekarang ini menjadi
faktor penting dalam menyukseskan keberhasilan peserta didik dari faktor
lingkungan keluarga.
Faktor persekawanan adalah faktor
yang menjadi perbandingan bagi peserta didik untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan yang dipunyainya dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Lingkungan persekawanan yang dirasakan oleh peserta didik dapat turut
memengaruhi perkembangan pola pikir dan pola tindak peserta didik karena fase
umur yang masih dominan dengan kekuatan emosional diri yang selalu ingin unggul
dan tidak ingin tertinggal dari kawan-kawannya sesama peserta didik.
Oleh karena itu, bilamana faktor
persekawanan memiliki visi keunggulan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
keterampilan, keadaan lingkungan persekawanan itu akan turut membentuk kinerja
peserta didik.
Faktor sumber daya sekolah adalah
faktor kemampuan sekolah sebagai tempat proses pembelajaran dalam menyediakan
sumber daya dari sarana dan prasarana sekolah hingga pada kurikulum dan materi
pembelajaran yang tepat, termasuk kemampuan penyampaian materi pembelajaran
yang benar dan baik dari para pendidik (guru).
Oleh karena itu, kepala sekolah
seyogianya dapat menyadari bahwa ia adalah seorang manajer sekolah yang
memiliki visi dan misi serta program-program pembelajaran yang sesuai dengan
tuntutan era globalisasi. Kepala sekolah beserta staf guru harus mampu dapat
menyusun suatu perencanaan pembelajaran melalui suatu pola manajemen sekolah
yang berorientasi kepada keunggulan dan daya saing peserta didik.
Faktor kecerdasan yang berasal dari
dalam diri sendiri sebenarnya merupakan keragaman yang tak terbantahkan karena
sudah melekat pada diri para peserta didik. Namun tidak mustahil, dasar
kecerdasan dapat ditingkatkan melalui proses stimulasi yang tepat melalui
program-program stimulasi berdasarkan keragaman kecerdasan peserta didik itu
sendiri.
Faktor aksesibilitas pencapaian
terhadap informasi adalah faktor yang melengkapi faktor-faktor pembentuk
kinerja peserta didik. Faktor itu lebih menitikberatkan kepada penguasaan
informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sudah
terlebih dahulu berjalan di negara-negara maju, atau akses informasi itu dapat
dijadikan oleh peserta didik sebagai sumber pengetahuan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan pembelajaran atau penemuan-penemuan yang bersifat inovatif.
Pembangunan di sektor pendidikan
bukanlah persoalan yang sederhana, melainkan memiliki tingkat kompleksitas yang
tinggi. Namun demikian, pengelolaan pembangunan pendidikan harus menjadi skala
prioritas utama dalam pembangunan nasional. Sebab fakta membuktikan,
keberhasilan perekonomian negara-negara industri maju terlebih dahulu diawali
oleh kemajuan sektor pendidikannya yang menghasilkan sumber daya unggul dan
berdaya saing.
Untuk mencapai pembangunan
pendidikan yang berhasil, seyogianya kita tidak hanya berorientasi kepada
pembangunan di sektor input, tapi juga pada output. Semoga keputusan
pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dapat dijadikan
momentum bagi pencapaian kinerja pendidikan nasional yang lebih baik lagi,
sekaligus diharapkan dapat mendorong IPM sebagai indeks yang mengindikasikan
ukuran taraf kesejahteraan bangsa.(68).
E. Penutup
Pendidikan
adalah salah satu faktor yang paling penting dalam kemajuan negara. Di
Indonesia pendidikan masih sangat rendah. Ada beberapa masalah yang dihadapi
yaitu masalah banyaknya anak yang dapat ditampung di sekolah, masalah besarnya
drop-out, masalah ketidakseimbangan vertikal dan horizontal, masalah tenaga
guru, masalah kurikulum dan metode mengajar yang sama, masalah uang sumbangan
pendidikan, masalah ujian negara yang sentralistik, masalah kemacetan mekanisme
inspeksi dan supervisi dan masalah tidak terpenuhinya syarat-syarat prasarana
dan sarana pendidikan.
Banyaknya masalah masa lampau dan masih banyak juga
masalah pembangunan pendidikan sekarang ini yang juga merupakan sisa dari
masalah masa lampau. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja peserta didik,
yaitu lingkungan keluarga, atmosfer persekawanan, sumber daya sekolah,
kecerdasan yang berasal dari dalam diri sendiri, dan aksesibilitas pencapaian
informasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Purwanti. 2007. Suara
Merdeka Perekat Komunitas Jawa Tengah. http://www.suaramerdeka.com/harian/0705/02/opi03.htm
(5 April
2012).
Vembrianto. 1981. Kapita Selekta
Pendidikan Jilid Pertama. Yogyakarta : Yayasan Pendidikan “Paramita”
Yogyakarta.
.................. . 1982. Kapita Selekta Pendidikan Jilid Kedua.
Yogyakarta : Yayasan Pendidikan “Paramita” Yogyakarta.